Minggu, 20 Mei 2012

Tangkap Makna Bukan Bahasanya!




Di tengah alam demokrasi Indonesia yang semakin bebas, tak jarang dalam keseharian kita melihat orang-orang tampil berani dan mengekspresikan diri dengan begitu percaya diri. Ketika melihat televisi, entah kenapa saya sering menggelengkan kepala saat menyaksikan acara debat yang menurut saya lebih banyak adu mulutnya daripada menemukan titik solusi. Di dunia maya kening saya berkerut melihat status dan komentar beberapa orang yang menurut saya, “Gak harus gitu juga kali” atau “Curhat lo di jejaring sosial gak akan menyelesaikan masalah apapun kecuali malah menumbuhkan kebencian”.

+++

Saya rasa banyak dari kita umat islam yang akan tersinggung mendengar stand up comedy-nya Pandji Pragiwaksono ketika ia menyinggung tentang khatib-khatib di Indonesia yang menurutnya bisa dibagi ke dalam 2 jenis; Pertama, khatib yang suaranya lantang seakan-akan tidak sadar kalau ia memegang michrophone. Khatib jenis ini lanjut Pandji adalah tipe khatib yang suka menakut-nakuti, dengan ancaman neraka misalnya. Lalu yang kedua, khatib yang membuat suasana lucu dan ceria. Dan bahkan bisa membuat kita menangis dengan suaranya yang sendu sewaktu memanjatkan doa.

Bagi orang yang hanya menangkap bahasa semata, stand up Pandji bisa jadi terdengar seperti melecehkan khatib yang amat mulia itu, apalagi kalau kita melihat langsung video stand up-nya. Bisa-bisa kita akan men-judge Pandji sebagai muslim yang melecehkan saudaranya sendiri.

Tapi saya ingin mengajak kita semua untuk Jumatan tanpa mengantuk atau mencari sandaran tiang, hehe. Lalu mari kita dengarkan khatib kita dengan seksama, runut dari awal salam sampai sang khatib menutup khutbahnya. Kalau kita mau jujur, khatib seperti yang dibicarakan Pandji memang banyak sekali di masjid-masjid kita. Yang aksen khutbahnya tidak menarik. Yang berkhutbah seperti membacakan suatu pengumuman. Yang dalam seloroh suatu cerita yang pernah saya baca; orang yang susah tidur, insyaAllah langsung bisa pulas ketika hadir Jumatan sambil mendengarkan khutbah. Masya Allah. Ya walaupun dengan sadar saya dan beberapa dari kita pun—mungkin–ketika diminta berkhutbah jauh lebih tidak menarik dari pada khatib-khatib yang saya sebut tadi. Kita gemetaran tidak karuan dan tata bahasanya pun melompat-lompat. Ahh.

Jujur menjadi khatib adalah tugas yang mulia menurut saya. Bagaimana tidak, khatib memegang amanah yang berat, yang salah satu di antaranya adalah mewasiatkan taqwa pada jamaah yang hadir di majelis shalat Jumat. Disunahkan bersuara lantang, karena Rasulullah SAW pun bersuara lantang ketika berkhutbah, yang dalam penggambarannya, seolah-olah musuh akan datang mengajak kita berperang. Maka dengarlah komando dengan baik, jangan bercanda apalagi mengantuk!

+++

Kita memang tak harus setuju dengan Pandji dan cara penyampaiannya. Ya walaupun saya tidak menafikkan ia adalah orang yang baik dan mempunyai misi yang banyak mendatangkan manfaat buat orang lain. Setidaknya itu yang saya tangkap ketika membaca bukunya Nasional.is.me.

Dan harus diakui pula bahwa semakin negara kita berdemokrasi semakin sensi pula masyarakat kita menerima—katakanlah–ekses dari demokrasi itu sendiri, semisal saran, kritikan bahkan hujatan sekalipun.

Lewat tulisan ini saya hanya ingin berbagi tentang banyak pengalaman sensi saya terhadap orang lain, yang sering membuat saya jengkel. Yang akhirnya membawa saya pada suatu titik kesadaran, bahwa setiap orang ternyata mempunyai gaya bahasanya sendiri, karena mereka berasal dari suku dan budaya yang berbeda. Karena mereka tumbuh dari pengalaman dan lingkungan yang berbeda dengan kita.

Mungkin karena berbeda gaya bahasa dan penyampaian itulah yang membuat kita sekarang lebih sering menangkap bahasa daripada makna. Akibatnya kita lebih sering sakit hati daripada meraup isi dan manfaat.

Ayo ahh, jangan cepat sensi ya!



@taufik_hate
Di suatu malam minggu, Mei 2012

Sabtu, 12 Mei 2012

Cinta Bisa Juga Gila




Saya termasuk yang agak tidak percaya soal cinta buta. Tapi lewat seorang teman dekat yang saya percayai, saya jadi punya persepsi berbeda. Sebegitu dahsyatnyakah cinta membuat manusia buta di tengah terangnya dunia?

Begini ceritanya, teman saya (katakanlah bernama Margi) dan teman dari teman saya (sebutlah ia Karina). Karina sedang menjalin hubungan dengan kekasihnya (misalnya punya nama Ramon), yang kebetulan berada di luar kota Jakarta. Hubungan Karina dengan Ramon bisa dibilang tidak sehat. Mengapa tidak sehat?

Tanpa bermaksud men-judge, Karina bisa dikatakan termasuk orang yang terobsesi dengan cinta karena pengalaman cintanya yang minim, dan Ramon adalah kebalikannya, ia bisa dikategorikan orang yang oportunis dan berpetualang dengan banyak wanita, tanpa diketahui Karina. Layaknya hubungan long distance pada umumnya, hubungan mereka pun berjalan dengan memupuk rasa saling percaya. Ya, kepercayaan adalah first step sebuah hubungan untuk bisa berlanjut ke jenjang berikutnya.

Pernah sesekali Ramon berkunjung ke rumah Karina dengan tujuan agar lebih saling mengenal. Mereka pun jalan ke suatu tempat ramai. Bercengkerama dalam kisah kasih anak muda yang sedang kasmaran. Ramon pun tak segan menggenggam tangan Karina. Makan dan nonton bersama. Begitulah kisah asmara yang penuh dengan wangi bunga dalam hati dan menjelma dalam angan yang melambung tinggi akan harapan menjajaki biduk rumah tangga. Di akhir minggu Ramon pamit untuk kembali ke kota tinggalnya sekarang di sebuah kota ramai bernama Surabaya. Karina menangis sesenggukan melepas Ramon yang perlahan masuk ke terminal 2F Bandara Soekarno Hatta.

+++

Di tengah riuh redupnya hubungan long distance mereka yang masih seumuran jagung, Ramon mulai menjauh dari Karina. Telfon jadi semakin berkurang intensitasnya. Sms dan BBM darinya jarang terbalas. Ada rasa curiga dalam hatinya, ada apa sebenarnya dengan Ramon? Mengapa ia menghindar di saat cinta harus ditumbuhkan?

Karina lalu curhat kepada kawan saya Margi. Ia merasa sedih dengan kondisinya saat ini, betapa Ramon menyakiti hatinya. Margi terkejut, yang ia tahu hubungan Karina dan Ramon baik-baik saja dan menunjukkan sebuah keseriusan ketika ia mendengar Ramon beberapa kali mengunjungi rumah Karina.

Hati Karina sesak mendengar Ramon akan segera melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Kabar itu datang langsung dari Ramon lewat smsnya. Karina mengeluarkan air mata yang membuat pipinya basah. Hatinya pilu. Kesedihan menggelayut berkepanjangan menunggu ketidakpastian.

Blackberry Karina berbunyi tringg, message dari Ramon.
“Aku sudah punya pilihan, lupakanlah aku. Lupakanlah hubungan kita”.
Karina membalas “Ada apa Ramon? Apa yang sebenarnya terjadi”.
BBMnya tak dibalas Ramon. Margi yang menyaksikan langsung pesan itu hanya bisa memeluk Karina yang masih basah dengan air mata. Sambil berucap “Sabarlah sayang”.

+++

Di rumah Karina uring-uringan, ia tak bisa tidur malam itu. Lalu di tengah kegalauannya, Blackberrynya kembali berbunyi, ada message masuk.
“Lupakanlah aku Karina, aku sudah punya kekasih di Surabaya..”
“Akhir tahun ini kami akan menikah, dia MBA karena aku..”
“Usia kandungannya sudah menginjak 5 bulan..”
Karina hanya bias membalas dengan tangis sesenggukan “Kamu jahat Ramon..”
“Maafkan aku..” balas Ramon.

Hati Karina remuk, ia merasa dikhianati. Bagaimana tidak? Ramon, seorang yang dicintainya meninggalkannya begitu saja, ditambah berita yang sangat tidak mengenakkan hati itu.

Dunia Karina menjadi sempit. Ia jadi tak bersemangat soal hidup. Penampilan dan asupan tak diperhatikannya.

Cintanya begitu dalam dan tulus kepada Ramon. Susah untuk dihapus begitu saja. Betapa ia pernah berharap Ramon akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Namun harapan itu kini pupus sudah. Mungkin ia salah mengenal Ramon yang tak lain adalah kawan kampusnya dulu. Ramon yang ia kenal dahulu adalah lelaki yang baik dan perhatian. Namun seiring berjalannya waktu dan perubahan status ekonomi, Ramon menjadi sosok yang berbeda.

Dalam heningnya malam ia melamun. Ia jadi sadar, ternyata cinta bukan soal seringnya bertemu. Ia adalah soal ketulusan hati dan kesejiwaan bersama. Dan ia salah menilai Ramon sebagai belahan jiwanya yang lain. Ia jadi merasa tak mengenal Ramon. Ramon begitu asing baginya saat ini.

+++

Hari ini sampai Ramon memutuskan akan segera menikah, Karina masih terombang-ambing dalam perasaan cintanya yang ia ingin kubur dalam-dalam. Sungguh ada benarnya kata Thi Pat Kay, tokoh babi jelek dalam serial Sun Gho Kong, “Beginilah cinta, deritanya tiada akhir”

Setidaknya buat seorang gadis bernama Karina. Cinta yang mengalahkan logika kesadarannya sendiri. Ya, cinta kadang menjadi tak rasional ketika sudah merasuk dalam hati. Kita tak jadi makin pintar membedakan mana yang baik dan merugikan diri dengan cinta. Cinta jadi malah membelenggu diri sendiri. Dan dalam wujudnya yang seperti itu, saya jadi percaya ternyata cinta bisa juga jadi gila.




@taufik_hate, Mei 2012
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, dengan sedikit bumbu dalam penceritaan tentunya, semoga tidak mengubah makna sebenarnya.