Sabtu, 30 Oktober 2010

Musim Durian Telah Tiba




Entah karena kesukaan yang begitu sangat atau karena sudah waktunya. Malam itu—Jumat 29 Oktober–saya pergi sendiri ke Tugu Juang, sebuah tempat keramaian di Kota Jambi. Bukan keramaian yang saya cari, melainkan buah berduri yang wanginya semerbak itu (durian, red). Sudah mafhum di kalangan masyarakat kalau durian adalah buah yang sangat favorit karena dikenal enak rasanya. Mungkin kalau kita survei penduduk Indonesia mengenai buah apa yang mereka suka, saya yakin durianlah yang menempati posisi teratas.

Karena tidak ada teman yang mau diajak makan durian malam itu, alhasil saya—dengan berat hati *agaklebay.com–, berangkat sendirian dengan motor kesayangan. Malam itu, buat saya gak penting makan sendiri, berdua atau bertiga. Yang penting saya makan durian, hehe. Terdengar egois memang. Tapi begitulah saya. Sejak dulu sudah terbiasa jalan sendirian. Bukan. Bukan karena saya gak butuh teman. Tapi karena saya lebih suka yang simpel-simpel saja. Kalau kebetulan gak ada yang bisa diajak jalan bareng, toh sendirian juga gak ada salahnya. Walaupun gak menafikkan kehadiran teman bisa meramaikan suasana. Kalau ada yang mudah kenapa dibikin sulit pikir saya.

Sesampainya di sana, sudah berjejer beberapa pedagang yang mampu membuat para pengguna jalan untuk sejenak mengalihkan pandangan dan mencium aroma buah berduri itu. Adapun saya, sejak sore hari sepulang dari kantor, menyengaja melihat “TKP” dulu untuk memastikan musim durian benar-benar sudah hadir di kota ini. Soalnya, minggu lalu hanya ada satu-dua pedagang saja. Dan itu pun gak banyak persediaan buahnya. Tapi malam ini, seperti status Facebook salah seorang teman saya yang gak suka durian, yang menyebut durian sudah hadir di sana-sini. Tanpa banyak pilih saya pun menghampiri salah satu lapak penjual durian.

“Sieko (satu, red) berapo bang?” Tanya saya dengan logat yang sok ke-Jambi-Jambi-an.
“Mau ambil berapo bang?” Si abang balik bertanya.
“Coba buka satu dulu bang” ucap saya, “Saya makan di sini aja deh bang”
*Upss, keluar deh logat Betawi saya, hehe.

Begitu buah dibuka, aroma khas buah ini begitu menggoda, yang selanjutnya terserah anda kalau kata sebuah iklan, hehe. Alhamdulillah, nikmat sekali makan durian malam itu. Di samping saya, terlihat sepasang muda-mudi yang juga sedang menikmati sedurian berdua. Biar romantis barangkali.

Satu durian ternyata belum cukup nendang buat saya. Maka saya pun menghampiri Si abang penjual, dan memintanya membuka satu buah lagi. Memang beginilah pecinta durian. Belum puas kalau belum sampai pada kata “cukup”. Dan dua durian malam itu buat saya sudah “cukup” sebagai permulaan musim durian yang mulai semarak di kota saya ini. Yang, insyaAllah, akan ada babak kedua-ketiga dan seterusnya, hehe.

Dan lewat tulisan ini pula, saya ingin mengucapkan selamat menikmati durian bagi siapa saja yang menyukai buah ini di manapun berada. Di seluruh Indonesia. Hehe..

Salam durian. Lho!


*Sebagai visualisasinya saya tampilkan gambar dua buah durian yang telah saya kandaskan tanpa ampun, hehe..



taufik-hate
pecinta buah durian, hehe

Selasa, 26 Oktober 2010

Penilaian




Kata orang gak semua hal itu bisa dinilai. Saya bisa setuju soal ini. Tapi secara garis besar banyak hal di dunia ini yang bisa di nilai kok. Contoh yang paling dekatnya itu seperti berat badan, tinggi menara dan tentu saja uang. Termasuk berapa besar uang yang kita pinjam dari orang lain dan belum dikembalikan, hehehe..

Persolannya sekarang bukan soal menilai yang di atas-atas itu. Ada hal yang lebih seksi yang sekarang diperbincangkan banyak orang, yaitu menilai orang lain. Makanya jangan heran muncul acara-acara gosip yang makin marak saja di tahun-tahun belakangan ini. Itu tak lain dan tak bukan bahwa menilai adalah sesuatu yang penting. Walaupun kita harus sepakat bahwa menilai itu tak selalu masuk kategori gosip. Tapi gosip adalah memang menilai.

Menurut saya menilai adalah sesuatu yang sangat manusiawi dan wajar saja. Mengapa? Karena dalam kehidupan itu sendiri secara sadar atau tidak, kita sendirilah yang melakukan penilaian itu hingga melahirkan preferensi-preferensi tertentu dari sesuatu yang kita inginkan. Yang akhirnya dari penilaian itu kita memilih pilihan hidup. Untuk masa depan kita.

Kalau kita menilik lebih dalam lagi soal nilai-menilai, sepertinya tak adil bila penilaian itu melahirkan suatu justifikasi yang ujungnya adalah penghakiman. Bukan itu saya rasa tujuan dari kita menilai. Apalagi kalau konteksnya menilai secara personal.

Bukan perkara mudah menilai orang, salah-salah kita bisa salah dalam menilai. Seperti waktu kita baru berjumpa dengan orang-orang yang “sepertinya” terkesan angkuh dengan muka juteknya, ehh gak taunya friendly banget bahkan menjurus caur malah. Lagi-lagi casing seseorang belum bisa bercerita banyak tentang diri mereka yang sebenarnya.

Penilaian juga yang membuat pemerintah mempunyai hak untuk menentukan lulus atau gak-nya murid-murid dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan waktu kita kuliah pun ada sebagian teman-teman kita―termasuk kita mungkin―yang “divonis” tidak lulus satu mata kuliah tertentu oleh bapak atau ibu dosen, dan dipersilahkan untuk mendalami mata kuliah tersebut lebih lanjut. Untuk apa diulang? Yap agar kita semakin mengerti. Bahwa pelajaran itu penting untuk dipahami. Apalagi kehidupan ini, salah menilai sedikit saja, akan berakibat salah pula hasil yang diinginkan.

Terlepas dari nilai-menilai itu. Kita tahu bahwa menilai itu membutuhkan teknik tersendiri. Gak sembarangan. Tapi yang harus kita setujui adalah nilailah dirimu sendiri sebelum kamu terlalu sibuk menilai orang lain sehingga lupa bahwa banyak hal dari dirimu yang harus dinilai oleh dirimu sendiri.



taufik-hate
sebuah tulisan lama yang lupa diselesaikan, kira-kira tahun 2008

Selasa, 19 Oktober 2010

Embun





Adakah kau ingat..
Kala pagi itu kumembersamaimu..
Melewati sebuah jalan panjang..
Sepanjang cerita kita..

Adakah kau rasa..
Ketika kugenggam jemarimu..
Dan mentari pun..
Menerangi langkah kita..

Adakah hari itu kan berulang lagi..
Dalam nyata hidup..
Suatu pagi yang mengajarkan kita..
Bahwa embun pun menyejukkan hati..




taufik-hate
@ villa kenali berseri
19 Okt ‘10

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tentang Hidup




Seluas cakrawala pandang..
Kita hidup hanya dalam sekejap penciptaan..
Lahir, muda, menua lalu mati..

Manusia dikisahkan saling berbangga..
Tentang harta, anak dan ladang yang luas..
Tapi itu hanya fatamorgana di kala senja..

Hidup mengajarkan kita kedewasaan..
Namun kita jualah yang membuang kedewasaan itu..
Entah karena ada pilihan lain atau kemunafikan diri..

Tapi di sini, mari berkaca..
Tentang diri yang mulai menata hati..
Memulai hidup dengan sesuatu yang baru..

Mungkin kemarin kita lupa..
Mungkin juga alpa..
Namanya juga manusia biasa..




taufik-hate
@ villa kenali berseri
9 Okt ‘10

Jumat, 08 Oktober 2010

Sandaran Hati




Sudah cukup jauh ku melangkah..
Kadang aku butuh bahu untuk sekedar bersandar..
Maka ku datangi ibuku..

Sudah lelah ku berjalan..
Kadang ku butuh berbagi cerita..
Maka ku datangi ayahku..

Dan ketika aku sadar masih banyak harapan menanti di depan..
Maka ku datangi Tuhan..
Berdo’a dan hanya memohon kepadaNya..




taufik-hate
@ rumah manisku
31 Maret ‘10