Selasa, 31 Juli 2012

Jakarta Harus Berubah



Jakarta adalah magnit Indonesia dalam bentuknya yang menarik. Adalah hal yang lumrah bila banyak orang berbondong-bondong datang untuk mendekat. Mendekat karena merasa tertarik oleh apa yang ada di dalamnya.

Jakarta adalah kunang-kunang yang berkelap-kelip di malam hari. Adalah hal yang wajar jika banyak orang tertarik untuk mendekatinya. Kalaupun mereka tidak ikut bersinar seperti kunang-kunang, minimal mereka akan tercahayai oleh sinarnya.

Membincang Jakarta dewasa ini seperti berdebat tentang suatu masalah yang tak ada ujungnya. Begitu pelik. Terlalu kompleks. Kalau tidak hati-hati yang ada kita hanya akan berdebat kusir. Butuh kepala dingin dan semangat solusi untuk mengurai benang kusut sebuah kota bernama Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Ibu kota sebuah negara besar bernama Indonesia.

Tahun 2012 adalah tahunnya politica wave (gelombang politik), juga tahun yang spesial buat Jakarta. Karena di tahun ini pagelaran lima tahunan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah sesuatu yang seksi untuk dibicarakan dan diikuti. Dengan pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta pada hari Kamis tanggal 19 Juli 2012 yang menyatakan bahwa perolehan suara dari 6 peserta Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur tidak ada yang mencapai 50%, dimana menurut Peraturan Pemilihan Kepala Daerah, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 107 Ayat (1) yang menyatakan "Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih".

Dikarenakan tidak adanya salah satu calon yang berhasil menembus angka 50% dari suara sah, juga terdapat dua pasang calon yang jumlah perolehan suaranya di atas 30%, maka dengan demikian Pilkada DKI Jakarta harus dilaksanakan dua putaran.

Di putaran kedua nanti akan mempertemukan calon gubernur incumbent Fauzi Bowo dengan pasangan barunya Nachrowi Ramli (Foke – Nara) dan calon gubernur baru yakni Walikota Solo, Joko Widodo yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi – Basuki).

Dengan perolehan suara yang tidak terlampau jauh di putaran pertama, banyak yang memprediksi putaran kedua akan berlangsung sengit, tapi tidak sedikit juga yang mengira bahwa salah satu calon akan menang telak. Golongan Putih (GolPut) pun diperkirakan akan semakin berkurang mengingat Pilkada ini akan jauh lebih seru dibandingkan tahun 2007 lalu yang hanya diikuti dua pasang calon. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi di 20 September 2012 nanti. Tanggal resmi putaran kedua pilkada DKI Jakarta yang sudah dirilis KPUD DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

***

Pilkada identik dengan kampanye. Sesuatu yang mungkin tak akan dapat dipisahkan satu dengan lainnya, mengingat dalam kampanye lah pasangan calon dapat memperkenalkan dirinya lebih baik ke calon pemilih, dengan lebih personal. Entah lewat iklan di televisi atau bertatap langsung face to face.

Namun seiring dengan semakin majunya teknologi informasi, para calon Gubernur dan tim suksesnya pun telah sigap dengan berkampanye lewat dunia maya. Pemanfaatan media sosial semacam website, blog dan jejaring sosial dirasa semakin penting mengingat Indonesia masuk dalam dua puluh besar pengguna internet di seantero dunia. Yang sederhananya, kalau tulisan seseorang dimuat pada media sosial seperti website dan blog kemungkinan besar akan dibaca oleh orang lain, apalagi jika anda menampilkannya pada media-media sosial mainstream semisal tempo dan politicawave.

Saya amat tertarik dengan boomingnya jejaring sosial empat-lima tahun belakangan ini. Masyarakat Indonesia semakin melek terhadap hal-hal yang berbau politik, di mana sama kita ketahui bahwa beberapa dekade yang lalu perbincangan politik hanya terjadi di tataran kampus dan cendikiawan saja.

Politik kini jadi obrolan ringan yang bisa dilakukan di mana saja; di warung kopi, bus kota bahkan tanpa bertatap muka, seperti di jejaring sosial yang semakin menjamur bak cawan di musim hujan. Orang jadi tidak tabu membicarakan politik karena sekarang akses untuk tahu banyak tentang hal itu seolah sempurna disajikan di dunia maya.

Anak muda sebagai pemilih aktif pun jadi bisa menggali informasi mengenai calon-calonnya lewat berbagai track record yang ditampilkan di media tersebut. Sehingga angka GolPut yang nota bene sering dikait-kaitkan dengan anak muda dan golongan menengah ke atas mungkin bisa sedikit ditekan.

***

Kita mafhum bahwa Jakarta adalah tempat di mana banyak sekali orang berkumpul dan beraktifitas. Yang efeknya adalah ketidakmampuan Jakarta itu sendiri untuk menampung beban sosial dari aktifitas masyarakatnya. Jalan-jalan macet luar biasa, tidak sebanding antara pertumbuhan kendaraan dengan pertambahan lebar jalan, seperti berita ini . Pengangguran di mana-mana karena penawaran tenaga kerja tidak sebanding dengan permintaan yang ada. Lingkungan semakin jenuh; panas, berdebu dan kotor. Juga banjir, seperti berita ini .

Saya adalah bagian dari para blogger, yang mungkin mewakili banyak warga Jakarta dan sekitarnya yang sangat berharap bahwa pemimpin Jakarta masa depan adalah mereka yang aware dengan lingkungannya. Tak perlu muluk-muluk dengan banyaknya program. Cukup beberapa program yang memuat masalah utama tapi fokus dan selesai, dibanding program yang melimpah ruah tapi jauh dari garis finish.

Gubernur masa depan Jakarta adalah ia yang tak perlu repot dengan protokoler yang kadang malah sering menghambat interaksi dengan masyarakatnya. Gubernur yang mau turun ke bawah, duduk di warung kopi, mengobrol apa saja dengan masyarakat. Mendengarkan keluhan-keluhan mereka soal kebutuhan ekonomi, soal pendidikan anaknya yang putus sekolah atau soal kesehatan yang sering tak diperhatikan.

Karena masyarakat butuh didengar secara langsung tanpa perantara dan berharap agar masalahnya bisa langsung dieksekusi oleh Sang Gubernur menjadi solusi konkrit.


Jakarta Harus Berubah



Sebagai ibu kota yang gemerlap dan menarik, Jakarta ternyata banyak menyimpan kekhawatiran soal keamanan dan kenyamanan. Munculnya kekerasan-kekerasan di depan mata kita, membuat ketidaknyamanan tersendiri bagi keberlangsungan keamanan dan kenyamanan hidup di Jakarta.

Oleh karena itu ketegasan dalam bersikap seorang pemimpin dibutuhkan dalam menjadikan Jakarta sebagai sebuah kota yang nyaman untuk ditinggali. Tanpa tedeng alih-alih, walaupun solusi pendekatan sosial juga diperlukan. Penengah yang bijaksana. Juga pendengar yang baik. Win win solution lah.

Pemimpin masa depan Jakarta adalah ia yang dapat menghimpun semua energi dan potensi yang terserak dari elemen-elemen masyarakat menjadi lebih positif. Lebih bermanfaat buat lingkungannya.

***

Akan menjadi sebuah niscaya jika Jakarta akan menjadi kota yang nyaman dan sejahtera mengingat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kita adalah yang terbesar di Indonesia, 33,87 triliun untuk tahun anggaran 2012. Sebuah angka yang fantastis.

Kita bisa bangun apa saja yang bermanfaat bagi masyarakat; sekolah, rumah sakit, pasar, perpustakaan, jalan dan banyak lagi fasilitas yang akan membuat Jakarta menjadi kota ideal dan bersahabat bagi warganya.

Sehingga tak ada lagi cerita anak yang bergelandangan di jalan karena tidak sekolah. Atau rumah sakit yang menolak pasiennya karena beragam alasan yang kadang tak masuk akal. Pasar yang kumuh dan becek. Juga fasilitas publik yang tak berfungsi karena rusak dan dibiarkan terbengkalai.

Semua itu bisa terwujud asal pemimpin dan juga rakyatnya mau berubah. Ayo ahh berubah. Untuk Jakarta yang lebih nyaman, buat elo dan gue. Buat masa depan kite semua.




@taufik_hate
Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar